Siapkah Pemerintah Daerah Beralih ke OpenSource ?

Ada sesuatu yang menarik akhir-akhir ini dikalangan instansi pemerintah, terkait dengan keluarnya surat edaran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : SE/01/M.PAN/3/2009 tentang pemanfaatan perangkat lunak legal dan open source software (OSS), tertanggal 30 Maret 2009, yang dibagian akhir dari surat edaran tersebut dinyatakan :
“Diharapkan paling lambat tanggal 31 Desember 2011, seluruh instansi pemerintah sudah menerapkan penggunaan perangkat lunak legal. Untuk itu diharapkan instansi masing-masing mengatur agenda pentahapan untuk mencapai target selesai tahun 2011”

Demikian jelas dan tegas isi surat edaran yang ditujukan kepada seluruh instansi pemerintahan di Indonesia untuk segera hijrah ke menggunakan perangkat lunak yang legal berbasis open source.

Kemudian pada tanggal 13 April 2009, Menteri Negara Riset dan Teknologi, mengeluarkan surat balasan sebagai tindak lanjut dari surat edaran MenPAN diatas, yang menyatakan siap mendukung proses migrasi tersebut.

Apa itu Open Source Software (OSS)?
Secara sederhana istilah OSS mengacu kepada perangkat lunak (software) komputer yang script-script (source) pembuat perangkat lunak tersebut tersedia bebas di Internet dan diserta dengan lisensi GPL, mungkin bisa saya sebutkan gratis, istilah kerennya copyleft. Contoh software tergolong OSS ini adalah FreeBSD, Unix, dan Linux. Linux adalah salah satu OSS yang cukup dikenal banyak saat ini melalui berbagai distro, seperti distro UBUNTU, Fedora, IGOS Nusantara, dan lain-lain.

Sebaliknya, seperti software Microsoft Windows, tergolong kedalam Close Source Code, artinya kita berada dalam posisi sebagai pemakai saja, tidak dapat mengutak-ngatik atau merubahnya sesuai dengan keinginan, yang paling mahal dari Close Source software ini adalah LISENSINYA (copyright). Jika seandainya, anda membeli software windows vista secara legal, harga untuk versi basicnya, sekitar Rp. 1.100.000,-, itu baru software sistem operasinya saja, kemudian jika anda beli Microsoft office 2007, maka harganya sekitar Rp. 1.900.000,-, artinya, untuk memiliki komputer dengan perangkat software berlisensi resmi, anda harus mengeluarkan uang Rp. 3.000.000, untuk perangkat lunaknya saja, belum lagi harga perangkat keras dari komputer itu sendiri. Lisensi tersebut berlaku untuk satu komputer, jika memiliki 5 buah komputer, berarti harus mengeluarkan 15 juta, untuk harga sebuah perangkah lunak.

Oleh karena itu, muncullah perangkat lunak untuk close source software ini dalam bentuk bajakan, yang ditawarkan dengan harga murah. CD bajakan dapat diperoleh dengan harga Rp. 25.000,-. Karena murah inilah, maka banyak pengguna komputer menggunakan perangkat lunak secara bajakan, yang sesungguhnya, kegiatan tersebut melanggar undang-undang tentang hak cipta.

Kenapa instansi pemerintah di harapkan migrasi ke open source software ?
Tidak lain adalah mengurangi tingkat pembajakan di Indonesia terhadap software berlisensi, sehingga terhindar dari undang No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta, disamping itu, secara otomatis akan menghemat anggaran pemerintah untuk memberi perangkat legal berlisensi. Secara tidak langsung, menggunakan perangkat lunak open source, akan meningkatkan kreatifitas anak bangsa, karena software ini dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.

Sudah siapkah pemerintah kita ?
Siap atau tidak siap adalah relatif, komponen paling penting adalah kesiapan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan komputer. Tentu, proses migrasi dari perangkat lunak berlisensi (ex. MS. Windows) ke perangkat lunak berlisensi GPL (gratis, Linux) membutuhkan proses dan kemauan yang kuat, walaupun secara kemampuan dan fitur sudah sangat menyamai, bahkan lebih.

Maka, mulai saat ini, setiap instansi pemerintah, sudah seharusnya menyiapkan SDM-nya untuk menguasai open source software, karena, dari berbagai penelitian dan karya tulis di media massa, menyebutkan, ketidaksiapan SDM menjadi pemicu gagalnya terlaksana proses migrasi.

Oleh karena, sudah seharusnya, instansi pemerintah mulai merengkuh komunitas-komunitas IT yang terdapat didaerah masing-masing untuk membantu atau bahkan mendidik SDM-nya. Untuk open source software, disetiap daerah terdapat komunitas yang disebut KPLI, Kelompok Pengguna Linux Indonesia. KPLI bukanlah lembaga profit, tapi lebih kepada komunitas yang sifatnya untuk saling membantu dan share ilmu pengetahuan. Komunitas ini, terdiri dari mahasiswa, praktisi, akademisi dan bahkan masyarakat umum.

Semoga, dengan adanya surat edaran Menteri PAN tersebut, mulai saat ini, setiap instansi pemerintah sudah mulai menentukan sikap dan membuat rencana terukur, agar menjelang tanggal 31 Desember 2011, instansi pemerintah betul-betul telah menggunakan perangkat lunak legal berbasis open source. Semoga.

Sumber Artikel : http://ephi.web.id/content/view/202/50/lang,indonesia/
Oleh : Yuhefizar,M.Kom
Pembina KPLI Padang.

0 comments:

Post a Comment

 
Jepara Goes Open Source © 2011 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work